Senin, 01 Maret 2010

Pengalaman Kereta Commuter Ekonomi AC

2 Maret 2010 - Apakah Anda commuter yang berkendara setiap hari ke dan dari Jakarta? Pernahkah Anda merasa stres dengan jalanan dan tingkah laku pengguna jalan di Jakarta? Jawaban saya, IYA Saya tinggal di Depok dan berkantor di Jakarta Pusat. Awalnya saya sempat memilih KRL Jakarta-Depok tapi lama-lama nyerah juga. Satu kejadian yang membuat saya kapok naik KRL adalah justru ketika saya naek Ekonomi AC. Kok bisa? Begini ceritanya, saya terbiasa naik Express di pagi hari Ekonomi non AC di malam hari. Kalo ketinggalan Express Kota, saya memilih Express Tanah Abang. Ya intinya sama-sama aja, penuh. Tetap harus berdesakan walaupun tidak seekstrem di Ekonomi. Pulang kantor memang saya memilih ekonomi non ac. Awalnya sih alasan subsidi silang, biar ga berat-berat amat ongkosnya. Walaupun desak-desakan, saya masih bisa merapat ke arah jendela atau kipas angin (ada beberapa armada yang kipasnya memang nyala). Suatu saat saya pulang dengan Ekonomi AC, ini dia yang bikin saya kapok! Harga karcis Ekonomi AC yang notabene jauh lebih mahal dari Ekonomi non AC dan bahkan mendekati harga Express tidak menjamin kenyamanan. Penumpangnya sama berdesakannya dengan Ekonomi non AC, jadi sebenarnya hanya beda di AC. Justru itu masalahnya. Dengan begitu padatnya penumpang ekonomi AC (tidak beda dengan non AC) udaranya jadi gerah. AC ga berasa Makin penuh, penuh dan akhirnya sangat penuh hingga tak ada bedanya dengan kepadatan di non AC. Terutama dari Manggarai. Udara makin menipis. Mana nih AC nya, kipas yang di atas kepala juga ga berasa. Sampai di sekitar Pasar Minggu Baru, kondisi di dalam sudah seperti sauna, keringat dimana-mana, dan parahnya ga ada udara. Pengap. Saya mulai merasa megap-megap cari udara. Dan ternyata tidak hanya saya, yang lain pun juga. Ini karena set gerbong AC tertutup toh, jadi sirkulasi udara tidak berjalan dengan baik. Lama-kelamaan makin berbahaya. Akhirnya ada Bapak-Bapak yang tampaknya sudah tidak tahan, dia membuka jendela yang letaknya persis di depan kami. WAAAHHH, sejuknya udara... Hal ini diikuti oleh jendela berikutnya, dua jendela dibuka. Tapi itu sudah terlambat, saya sudah sangat megap-megap dan kapok naik ekonomi AC. Parah, sauna 6000 perak tanpa oksigen Sejak itu saya sudah satu bulan lebih tidak lagi menggunakan KRL. Kapok. Pergi penuh, pulang jadi pepes. Belum lagi kereta telat dan aksi saling dorong. Sangat tidak sehat, menguras tenaga, keringat dimana-mana... Secara psikologis, kita dituntut untuk selalu bersabar yang akhirnya justru luapan emosi terlalu tinggi. Luapan ini bisa terakumulasi dan menjadi potential damage jika ada penyulut yang lain. Alhasil, emosi itu bisa diekspresikan dimana-mana. Meski begitu ada satu hal positif yang sebenarnya bisa diambil dari naik KRL, yakni badan udah capek duluan jadi bisa mengurangi sulit tidur :)